Senin, 02 Januari 2012

Penyeragaman musik, semua ini takkan bertahan lama

Tugas FEATURE!!!

Ketika televisi menjadi sarana hiburan yang membosankan, begitu banyak Boy & Girl band  bermunculan dan lagi lagi kotak bergambar yang disebut televisi ini menyuapi kita dengan sebuah trend penyeragaman. Secara masif dan terus menerus kita dipaksakan secara tidak sadar untuk menikmati tumpukan Boy & Girl band. Siapa yang patut disalahkan? Ketika kalian berbicara omong kosong menyatakan tidak suka, mereka terus menyajikan dan kita secara sadar atau tidak sadar terus saja menikmatinya.
Sukses satu dan tumbuh seribu, silahkan kalian nikmati!


Masih terekam jelas di otak ini ketika kemunculan pertama SM*SH (baca: SMASH) sekitar bulan oktober tahun 2010 lalu. Dipenghujung tahun 2010 mereka membuat gempar blantika musik Indonesia dengan single “I Heart You”.

“Kenapa hatiku cenat cenut tiap ada kamu”
You know me so well
“I know you so well”
“Girl i need you, Girl i love you, Girl i heart you”

Ya, siapa yang tidak pernah mendengar penggalan lagu dari perintis era boyband Indonesia modern ini. Bahkan adik - adik kita yang mungkin masih balita pun dengan terbata – bata dapat dengan mudah menyanyikan tiap lirik yang diciptakan secara sederhana dan memang ear catching ini.  Sebuah lagu yang menceritakan bukti ungkapan rasa cinta terhadap seorang gadis remaja.

Sampai pada kemunculan SM*SH saat itu, telinga masyarakat Indonesia sebelumnya masih dimanjakan dengan alunan musik melayu ala ST-12 dan kawan kawan. Semua trend penyeragaman ini tidak lain dan tidak bukan merupakan ulah dua pilar dari the big five media yaitu televisi dan radio yang memang mempunyai peran penting dalam perkembangan industri  musik di Indonesia. Kita terjebak dalam permainan, kita terbawa arus ketika saat itu band band nan sendu ini punya porsi besar dalam setiap segmen acara musik di negeri ini.

“Dari dulu juga ada, sampai kedepan juga akan ada tapi nanti pasti vakum sementara oleh karena trend baru, dulu ada Trio Libels, sekarang ada SM*SH. lihat saja 2012” ungkap Arian 13 (mantan jurnalis Trax Magazine dll, frontman dan vokalis di Seringai) ketika saya tanya pendapatnya tentang fenomena Boyband via twitter.

Begitulah yang terjadi di negeri ini, ketika awalnya semua yang disajikan terkesan dipaksakan dan pada akhirnya juga berakhir dipaksakan dengan merubahnya ke arah trend mutakhir. Berbicara masalah tren sekarang, sepertinya saya, kamu dan mereka yang sadar mungkin sepakat untuk menyebutnya dengan era Boy/Girl band. Ya, sebuah era yang dipaksakan media untuk mengakhiri kesenduan era melayu. Apa yang terjadi sekarang? Penampakan media – media di negeri ini tidak jauh berbeda dari saat ketika era melayu eksis. Saat mengutak – atik remote dari satu channel ke channel lain, layar kaca akan menjejali pemandangan sekelompok laki – laki atau perempuan yang biasanya bernyanyi tanpa alat musik sambil meliuk - liukkan tubuh mengimbangi hentakan alunan musik. Dari hari ke hari semakin banyak saja Boy/Girl band baru bermunculan dan respon masyarakat kita pun beragam, banyak yang pro dan tidak sedikit yang kontra. Ketika saya berbicara sebagai pribadi yang pro disini maka bisa dibilang ini merupakan sesuatu yang menggembirakan, ketika  akhirnya ada juga ending dari kejenuhan terhadap serbuan band pop melayu, dan ungkapan pro mungkin hanya tersajak diawal  tapi jika dilihat hasilnya: ini akan jadi sumber amarah baru bagi mereka yang berharap variasi musik di televisi lokal.

Ketakutan akan masa depan industri musik Indonesia yang labil ini cukup beralasan ketika banyak orang begitu memanfaatkan momen ini. Momen ketika Boyband atau Girlband (saya rasa sama saja, bedanya Cuma terletak pada jenis kelaminnya saja tapi konsep mereka sama bahkan kadang boy pun seperti girl) begitu menguasai mayoritas pendengar musik di Indonesia dari sabang sampai merauke.

Semua barang – barang bernuansa K-Pop yang notabene merupakan kiblat icon boyband di Indonesia saat ini begitu masif diperjual-belikan. Mulai dari gaya rambut, gaya busana, dan juga gaya-gaya yang lain. Ketika sedang iseng jalan jalan ke seputaran mall – mall yang ada di Bandar Lampung saya mendapati bahwa trend busana sepertinya sudah menjamah kota Tapis Berseri ini,  Saya melihat beberapa sweater dada terbuka yang mirip dengan punya SM*SH terjajar rapi dipelataran toko, pembalut tubuh bagi wanita yang bermotifkan kulit binatang yang dipasangkan ditubuh model plastik bahkan Mantel bulu tebal ala Super Junior (Hey ini Indonesia mas, feels very hot here, disana orang pake begituan karena memang dingin cuaca juga bersalju). Sah – sah saja dan saya tidak berhak mengkritik apa yang menjadi cara seseorang mempertahankan hidupnya dengan mencari peluang bisnis, toh mereka juga tidak berhasil mempengaruhi saya.

Semua itu terjual bak kacang goreng dan ini cukup beralasan ketika salah satu stasiun televisi swasta di negeri ini menampilkan sebuah program acara yang bertemakan “Ajang Pencarian Bakat Boy & Girl Band 2011”. Fenomena boy dan girl band di tahun 2011, membuat SCTV mengadakan ajang pencarian bakat di bidang tersebut. Tujuannya mencari boy dan girl band yang layak secara popularitas mau pun kualitas.

Menurut Direktur Program dan Produksi SCTV, Harsiwi Achmad, yang saya ambil dari situs online resmi SCTV, keberadaan boyband dan girlband saat ini sedang menjadi fenomena baru dan sukses meraih pasar penikmat musik.

“Kami sebagai media televisi mempunyai peran cukup besar dalam memberikan ruang eksistensi bagi mereka untuk menunjukkan kemampuan di depan pemirsa. Dan lewat ajang Boy & Girlband  SCTV ingin mencari bakat-bakat baru boy dan girlband di Indonesia yang bisa memberikan warna lebih segar dalam kancah musik di Indonesia” jelas Harsiwi.

Mungkin secara konten memang baru tapi secara konsep hal serupa juga pernah dilakukan Televisi swasta lainnya. Kita tentu ingat dahulu di awal millenium 2000-an acara audisi pencari bakat sejenis pernah memanjakan mata kita namun saat itu memang konsepnya bukan boy/girl band tetapi penyanyi solo. “Oh iya yah” mungkin itu jawabanmu. Ya, jika tidak mengingat - ingat lagi, saya pun lupa kalau saat itu memang ajang pencarian bakat melalui audisi sempat membuat para penonton kala itu pasti mengganti channel televisinya untuk menonton program itu di jam tertentu.
 “Kemana ya mereka sekarang?” Masuk televisi, tenar lalu tenggelam kemudian terlupakan. Membaca alurnya sepertinya begitu pula yang akan terjadi nantinya bagi fenomena boy/girl band di negeri ini.  Hal ini cukup beralasan, saat itu pun hegemoninya melebihi era boyband  dan nyatanya saat ini mereka seolah telupakan. Semakin negatif saja pikiran ini mana kala melihat mereka di layar kaca karena ternyata tak semua girlband dan boyband tersebut menyanyi natural, tapi ketika pentas sebagian besar dari mereka justru melakukan lipsync. Setidaknya itulah yang bisa saya lihat ketika melihat mereka di panggung.

“Lalu dimana letak Berkreasinya?” jadi kesannya kok kaya Re-kreasi.

Faktanya, grup-grup boy/girl-band korea yang notabene kiblat para boy/girl band di negeri ini hampir tidak pernah lipsync sebut saja SUJU ataupun SNSD dan lainnya. Sejatinya secara tidak langsung mereka mengajarkan bagaimana mempertahankan eksistensi suatu seni dengan menunjukan karya seni yang berkualitas pula. Suara oke, dance berciri khas, manajemen yang baik dan yang paling utama tidak lypsinc disetiap panggungnya menjadi alasan kuat bagaimana grup – grup itu mempertahankan eksistensinya.

Soleh Solihun dalam tulisannya disitus online majalah Rolling Stone Indonesia yang diupload pada 22 November 2011 lalu menyatakan bahwa faktor vokal dan kemampuan menari yang pas – pasan merupakan sesuatu yang harus dibenahi agar trend boy/girl band ini tidak lantas begitu saja mati dan meninggalkan kesan negatif saat dikenang.

“Semua yang serba pas-pasan itu, jika digabungkan akan memberi efek yang tidak pas-pasan. Ini memakai filosofi keroyokan: jika beramai-ramai dilakukan, yang tak berani pun jadi berani dan jadi terlihat menyeramkan”. ujar Soleh Solihun lagi, menyikapi trend boyband yang serba pas – pasan.








Selera dalam menyukai aliran musik tertentu tidak bisa dipaksakan. Aku, kamu dan mereka punya kualifikasi sendiri mengapa cenderung menyukai aliran musik tertentu.  Bagi kalian yang menikmati trend boy dan girl band mungkin saja karena konsep ceria, manis, dan minimalis yang ditampilkan gerombolan cowok dan cewek supermodis itu sebagai hiburan. Namun yang pasti ada juga “hati” yang memberontak. Miris ketika melihat kamu yang hanya ikut-ikutan saja, kamu yang bahkan yang katanya penggemar berat artis tertentu bahkan tidak membeli produk orisinil mereka. Ya, kita sama sama tahu sebagian besar penggemar boy/girl band adalah remaja belia yang rata – rata masih duduk di bangku SMP atau SMA. Mungkin saja yang mereka beli dan konsumsi saat ini bukan karya seni tetapi lebih ke sekedar suka akan tampang penampilan boy/girl band yang memang terlihat kece kalau dilihat dari layar kaca.

Melihat hubungan sebab akibat mengapa fenomena ini kemudian berkembang, saya tidak mau hanya melulu melihat mereka dari sisi negatifnya saja. Mencoba meluaskan sudut pandang dan mencari aspek positif apa yang bisa kita nilai dari munculnya sebuah program yang mengatas namakan “Ajang Pencarian Bakat Boy & Girl Band 2011” ini.  Ketika kita berbicara musik yang berkualitas, maka dari ajang inilah kita berharap. Kita berharap efek latah industri musik di Indonesia makin berkurang, berkaca dari era melayu yang berjaya sebelumnya mungkin sebagai pelopor beberapa grup musik seperti Kangen band dan St 12 masih mampu bertahan Akan tetapi bagaimana dengan group musik lainnya? sekali lempar album dipasaran, maka bersiaplah untuk kembali tenggelam di dalam ketat nya persaingan industri musik Indonesia. Begitu pula dengan Boy/Girl band, kalau tidak ingin nasibnya sama seperti mereka maka berkaryalah, ini waktu yang tepat bagi kalian, jadikanlah ini keseriusan bukan sekedar ikut – ikutan. Bukan hanya muncul, tenggelam kemudian terlupakan. Sebaiknya dari ajang pencarian seperti inilah mereka yang nantinya mungkin saja bisa jadi superstar lahir untuk dididik. Sebaliknya, jika memang ajang pencarian hanya dijadikan sebagai sarana aji mumpung memanfaatkan peluang maka yang terjadi mungkin sebuah perjalanan boy/girl band di indonesia ini hanya sekedar lewat saja seperti kisah - kisah latah lainnya.

"Masa depan boyband dan girlband lebih bagus. Saya lebih suka SM*SH. Belum ada yang menggantikan mereka." ujar Giring Nidji disitus detik.com Selasa (13/12/2011).


Setidaknya ungkapan dari pentolan grup Nidji ini mewakili para musisi kreatif Indonesia yang merasa tidak terganggu akan fenomena boy/girl band oleh karena eksistensi dan karya maksimal mereka yang didasari berpikir out of the box. Sebagai pekerja seni yang berada dalam koridor industri kreatif maka kita dituntut harus pandai mencari peluang tanpa meninggalkan ciri khas dan karakter yang dimiliki. Berkaca pada Dewa 19, Padi, Gigi dan Slank, mereka selalu mampu mencuri peluang yang ada tanpa harus meninggalkan karakter masing-masing. Ditambah pula  dengan attitude, manajemen serta pengelolaan konsumen yang baik maka walau sudah lebih dari 15 tahun grup-grup tersebut masih bisa menegakkan kepala dalam menghadapi industri musik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar